Bisa dibilang, tempat ini jadi jujukan lokasi wisata pertama dalam kunjungan perdana saya di Kota Surakarta. Walaupun sempat terdengar desas-desus bahwa museum ini udah nggak laku dan hampir bangkrut (bahkan ada yang sempat dijual), tidak menyurutkan keinginan saya dan kakak saya menjajahi bagian dalam museum Radya Pustaka.

Saya cukup beruntung hari itu karena semua museum di bawah naungan Kemendikbud tidak dipungut biaya masuk selama bulan Agustus 2017, alias gratis! Ya termasuk museum ini. Sebelum benar-benar masuk ke dalam gedung museum, saya harus menulis buku tamu, yang saya lihat di sana tertulis ada pengunjung dari Spanyol dan negara lainnya. Saya juga sempat menanyakan tentang tiket gratis ini. Ternyata khusus Museum Radya Pustaka, periode gratis belum ditentukan sampai kapan karena museum baru saja ganti pengelola. Karena sebelumnya, negara bukanlah konservator museum, tapi oleh Yayasan Paheman Radyapustaka dengan para pegiat budaya sebagai salah satu pemberi dana hibah. Jadi, peraturan untuk tarif pengunjung menunggu kebijakan dari pengelola baru dan Perda. Kalau biaya tiket masuk diberlakukan kembali, pengunjung akan dikenakan gopek untuk wisatawan lokal, dan ceban buat para wisatawan asing. 

Di bagian beranda bangunan, beberapa arca, meriam beroda peninggalan VOC abad 17 dan 18, dan meriam-meriam lebih mini dipajang. Namun, saat mulai melangkahkan kaki ke dalam bangunan gedung, atmosfer rumah seorang petinggi langsung terasa. Lantai marmer berwarna abu-abu masih terlihat apik dan terawat. Di ruang pamer paling depan, saya seperti disambut pemilik rumah (ngeriiii๐Ÿ™ˆ). Kursi dan meja bundar ditempatkan di sini dengan perabot kerajaan di sekelilingnya. Penempatan TV flat berukuran kecil di samping meja kursi ini menambah kesan ramah bagian depan bangunan. Ya karena TVnya menyiarkan review sejarah VOC datang ke Surakarta dengan background warna-warna klasik. Jadi saya serasa dipersilakan untuk duduk menikmati tayangan TV ๐Ÿ˜†.
Diambil dari sudut di depan TV
Memang menurut sejarahnya, bangunan bergaya gotik loji ini dulunya adalah kediaman warga Belanda. Bukan seperti perkiraan saya kalo rumah ini semacam rumah dinas petinggi keraton. Namun ternyata, sebagian besar koleksi museum berasal dari keluarga kepatihan Surakarta, ada juga pengusaha batik dan pegiat budaya lain. Sehingga koleksi museum ini makin banyak dan tidak terbatas benda-benda keraton Surakarta saja, namun juga perjalanan seni dan sastra pada masa itu.

Pakaian Petinggi Keraton dan Residen Belanda
Nah, masih di ruangan TV tadi, ada beberapa etalase yang memajang penutup kepala para tokoh jaman dulu. Hiasan kepala ini tetep berdasarkan hierarki status sosial pada masa itu, jadi cukup beragam juga. Kesan kolonial serta bergaya Arab masih kental tertuang di desain penutup kepala. Saya jadi inget helm pasukan Spartan yang khas ada jambul sepanjang kepala bagian tengah kayak anak punk hihihi ๐Ÿ˜‹.

Perkakas Makan Keluarga Kepatihan



Kemudian saya berjalan lurus belok ke ruangan di sebelah kiri. Pikiran saya langsung tertuju akan tayangan sinetron ala-ala kerajaan jadoel yang selalu melibatkan perkakas-perkakas makan unik. Tapi bukan perkakas yang bertatahkan emas kayak yang di sinetron,  di sini sebagian besar koleksi berbahan kaca dan juga tanah liat seperti tembikar. 

Perlengkapan Seni dan Sastra


Ini adalah ruangan terakhir dari bangunan asli museum. Setelah ruangan ini, ada ruangan dengan bangunan baru yang dibentuk menyerupai bangunan asli. Satu set gamelan pelog-slendro tertata rapi di ruangan ini. Seperangkat wayang seperti wayang beber dan wayang kulit, lengkap dengan peti kayu tempat wayang juga ada di sini. Saya sempat terkesan dengan kondisi gamelan dan perangkat wayang yang masih bagus. Bermacam prasasti dari lempengan tembaga yang diukir juga membuat saya pingin ngerti tulisan Jawa Kuna plus artinya. Hiks.

Perpustakaan dan Balai Konservasi 
Kalo museum atau tempat wisata lain yang menyimpan kisah dibaliknya selalu menyediakan buku untuk dijual, museum ini malah menyediakan buku yang bisa dibaca langsung dan gratis! Perpustakaan adalah ruang terakhir dalam penelusuran saya di museum ini dan di sinilah pula detik-detik terakhir saya di Solo paling lama dihabiskan. Saya bertemu mas Bangkit (yang, psstttt...good looking) ketika di ruang arca dan mbak Yanti, pustakawan museum. Kami seperti teman lama yang jarang ketemu, bercerita banyaaaaak banget, paling banyak ya seputar wisata dan konservasi purbakala. Mas Bangkit baru aja nimbrung setelah selesai reresik koleksi untuk Pameran minggu depan (3-5 September 2017 di UNS). Keberadaan perpustakaan ini cukup memberikan gambaran untuk apa museum, atau museum ini khususnya, didirikan. Yup! Selain untuk menggambarkan keadaan jaman Surakarta pada masa dulu, juga untuk keberlanjutan eksistensi sejarah. Salah satunya ruang manuscript lengkap dengan alat pembacanya, di ruangan sebelah koleksi perkakas makan. Tapi, hanya pihak tertentu saja yang bisa masuk ke ruang manuscript ini, yang tentunya sudah mengantongi ijin seperti keperluan penelitian. Masuk ke ruang perpustakaan aja kalo gitu, nggak cuma buku-buku lawas jaman Belanda aja, cetakan modern full-colour pun tersedia!

Satu hal lagi yang membuat saya kagum dengan museum ini adalah adanya QR-code yang dipasang disetiap koleksi, jadi para pengunjung bisa langsung memindai QR-code untuk tau deskripsi lebih lanjut tentang koleksi itu. Tapi sayangnya kurang berfungsi dengan baik karena berulang kali kakak saya mencoba memindai, kodenya tetep nggak bisa terpindai, apalagi deskripsi koleksi. Akhirnya saya sampai juga di bagian belakang museum. Senang rasanya ketika gedung ini sedang menjalani proses renovasi dan penataan koleksi. Ada harapan yang bangkit dari keadaan yang kian menjepit antara kepekaan dan kekuasaan.