Latihan Kehilangan dari Anak Kucing

Kisah #2



Bukan kali pertama saya punya hewan peliharaan, tapi untuk pertama kalinya saya punya kucing. Tepat  seminggu yang lalu kucing saya mati. Calon kucing perjaka yang masih unyu-unyu ini sempat hampir menginjak umur 5 bulan kelahiran. Masalahnya sepele. Stres.
Source
Dua hari sebelum umurnya pas 5 bulan pas 23 Februari kemarin, kucing Pipi mati. Bukan karena sakit tapi dia mati setelah disapih induknya tepat masa 3 bulan kelahiran. Sisa-sisa hidup selama dua bulan itu bagi saya jadi masa terberatnya, mungkin dia belum siap ditinggal induknya kali ya. Awalnya nggak mau makan, lama kelamaan feses jadi cair, masalah pencernaan terjadi. Saya yang ketar-ketir takut dia kenapa-kenapa langsung bawa ke dokter hewan. Sempat makan sedikit-sedikit dan sumringah lantaran diajak main saudaranya, Gempi (bukan anak artis, ini anak kucing, red). Si pipi sempat ngilang juga 2 hari nggak pulang ke rumah, saya merelakannya, toh dia mungkin sudah merasa bakal mati makanya menjauh dari pemilik. Esoknya, dia pulang ketika hari wisuda saya tiba-tiba datang teriak-teriak minta makan. Kado terindah di hari bahagia saya :"

Nggak berlangsung lama, minggu berikutnya dia mengalami gangguan pencernaan yang lebih parah. Saya kebingungan fesesnya cair dan keluar terus sampe di kakinya, meskipun begitu si Pipi masih mau makan sama minum. Besoknya saya bawa ke dokter hewan lagi. Dokter memberi infus karena Pipi dehidrasi berat, saya sempat mbrabak berkaca-kaca dikit, dia makin lemah dan lemas. Singkat kata, dokter mendiagnosis bahwa Pipi terserang entritis yang mungkin dikarenakan stres berat. Dua hari kemudian, setelah perawatan intensif nyuapin makan, vitamin dan lain-lain, saya lihat dia mulai bernafas lebih cepat dari denyut kucing normal. Dia saya tempatkan di atas kursi, di pinggir kolam. Melihat keadaannya gitu, saya masuk kamar mencoba hubungi teman saya 'calon dokter hewan'. Dia menyarankan saya terus memantau nafas dan temperatur tubuh sambil menyuruh memegang kupingnya. 10 menit setelah mendapat instruksi begitu, saya tengok tempat Pipi saya baringkan. Dan apa yang terjadi...

Dia sudah mengambang di atas kolam ikan. 

Sontak, meleleh juga air mata saya. Lalu mengabarkan kabar duka ini ke semua orang di rumah saya. Saya memutuskan untuk menunggu Bapak Ibuk saja yang menguburkan. Dan saya bertekad buat merawat sodaranya, Gempi.

***

Malam harinya, Gempi cuma pingin tidur saja. Nggak biasanya. Ketika makan malam sudah saya siapkan, dia cuma mengendus kemudian tidur lagi. Padahal biasanya, dia selalu semangat ketika waktu makan datang.

Besok paginya, dia tetap nggak mau makan dan nggak mau minum juga. Mau nggak mau, saya harus nyuapin dia terus, ngasih vitamin. Treatment yang pernah saya lakukan dulu ke Pipi. Dua hari setelah masa nggak mau makan itu, saya melihat dia sudah mau minum dan mau makan agak banyak. Tapi setiap dia ke arah kolam tempat Pipi tried to suicide, dia selalu mengeong keras dan lebih keras ketika sambil mencari berkeliling daerah situ. Orang-orang rumah sempat terharu juga, ternyata kucing juga bisa merasakan kehilangan kayak manusia. Kami serumah juga baru tau!
Besoknya, badan Gempi tremor di sekitar kaki depan sampai kepalanya. Dibilang kedinginan juga nggak, karena kaki-kakinya saya cek selalu hangat. Teman saya yang 'calon dokter hewan' itu berasumsi, mengira-ngira, mungkin dia sedang dalam kondisi shock setelah kehilangan temen main. Singkat kata, besoknya dia selalu pingin keluar rumah dan tremor makin kerap. Sore hari, saya coba membelikan air kelapa buat dia. Saya coba minumkan sedikit-sedikit. Dia nggak mau respon, nggak mau menelan. Pokoknya saya keukeuh minumkan tiap setengah jam, biar doi juga nggak lelah dicekok terus. Setelah merasa cukup, 1 jam kemudian dia bisa jalan terseret-seret pindah tempat buat berbaring.

Nggak lama kemudian dia akhirnya bersuara. Kami serumah pun mendekat. Kami juga nggak nyangka kalo itu tadi suara terakhir yang akan kami dengar setelah ini. Badannya mulai kaku. Saya menjauh, tahu kalau ajalnya makin deket. Ibu memantau dan kakak terus memantau Gempi. Kakak saya emang sedikit lebay, dia terisak sambil mengelus kepala Gempi. Tepat jam 7 malam, satu-satunya kucing saya menyusul Pipi. 
***

Bapak memanggil saya untuk menguburkan Gempi. Ikutan terisak ketika dia mulai ditaruh di atas tanah. Hari ini saya dapat pelajaran untuk dapat menerima kematian. Saya jadi ingat tulisan Seno Gumira ketika mendeskripsikan rasa kehilangan ibu melihat buah hatinya mati satu persatu di depan matanya sendiri dalam novel Biola tak Berdawai. Kali ini saya merasakan sendiri, bagaimana makhluk hidup kembali menghadap Ilahi dan putus hubungan batin di dunia dengan saya. Saya pikir-pikir emang terdengar alay ya, karena cuma binatang. Tapi beda rasanya kalau dia selalu hadir menemani hari-hari saya di rumah. "Setidaknya kamu pernah belajar menghargai kehadiran dan kepergian makhluk Tuhan dari hal-hal kecil kayak gini", begitu pesan Ibu. 

1 komentar:

  1. :( baru pertamakali punya kucing trus begini ya oct :(((( sedih polllllll
    Rasanya seperti belahan jiwamu pergi

    BalasHapus